Plastik Ramah Lingkungan Hasil Karya Dalam Negeri Dipamerkan di Texas – perusahan eco-technology asal Bali, terpilih mewakili Indonesia di festival industri kreatif South by South West (SXSW) yang diadakan di Austin, Texas pada 10-19 Maret 2017.
Avani bersama perusahaan Indonesia lainnya berkesempatan untuk menampilkan karya dan gagasan serta berinteraksi langsung dengan para pelaku industri kreatif negara lain.
“Festival ini menjadi ajang strategis tidak hanya bagi pembangunan reputasi industri kreatif Indonesia namun juga kesempatan bagi kita untuk membangun kesadaran tentang isu-isu global terkini seperti polusi plastik yang sudah menjadi epidemi” ungkap Kevin Kumala, Chief Green Officer Avani dalam siaran pers yang diterima Bisnis.com.
Gagasan untuk menciptakan produk-produk biodegradable berawal ketika Kevin melihat perubahan drastis yang terjadi pada pantai-pantai di Bali yang saat ini penuh dengan sampah. Tidak hanya di permukaan, plastik-plastik yang dibuang juga berada di bawah permukaan laut.
“Bayangkan jika setiap hari tiap warga Indonesia yang jumlahnya 250 juta menggunakan satu sedotan plastik sepanjang 20 cm dan langsung membuangnya. Sedotan-sedotan ini bila direntangkan bisa mencapai 5.000 kilometer! Setara jarak Jakarta-Sydney”, ungkap Kevin
Publikasi di jurnal Science mengungkap bahwa di 2010 saja, dunia menghasilkan plastik sebanyak 12 juta ton. Indonesia tercatat sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China dengan 1,8 juta ton per tahun. Jika hal ini terus terjadi, bumi jadi planet yang dipenuhi plastik. Kajian Universitas Georgia yang dirilis tahun lalu menemukan bahwa lautan di Indonesia adalah perairan kedua di dunia yang menyimpan sampah plastik terbanyak.
Lebih lanjut Kevin mengungkapkan bahwa saat ini banyak produk yang dipasarkan sebagai produk “ramah lingkungan” namun tidak memberikan keuntungan kepada lingkungan. Kantong plastik yang bisa didaur ulang seringkali menghasilkan residu beracun yang membuatnya berbahaya untuk kehidupan laut dan tanaman. Bahkan produk ini sering tidak terdaur ulang seperti klaim awalnya, yang pada akhirnya menghasilkan kematian bagi ribuan makhluk laut dan berbahaya jika dikonsumsi manusia.
Bioplastik sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak 1990, perusahaan di Eropa sudah memroduksi bioplastik dari jagung dan serat bunga matahari. “Namun memroduksi bioplastik dari bahan-bahan in biayanya relatif mahal. Setelah melalui proses riset dan pengembangan yang cukup lama, kami melihat singkong bisa menjadi sumber daya yang baik untuk produk-produk biodegradable ini”, kata Kevin.
“Teknologinya mungkin tidak baru, tetapi ada satu keunggulan yang kami banggakan yaitu produk kami sudah lulus toxicity test sehingga aman jika terkonsumsi oleh hewan laut,” ungkap Kevin.
Produk-produk avani seperti bioplastik bisa larut secara instan dalam air hanya dengan menggunakan air panas. Di dalam air dingin, bioplastik ini akan menjadi lunak dan kemudian berubah menjadi karbondioksida, air dan biomassa dalam hitungan beberapa bulan secara alami.
referensi: industri.bisnis.com