Pemerintah mengusulkan pajak penghasilan minimum sebesar 1% dari peredaran bruto bagi wajib pajak yang merugi di Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Ketua Umum Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional (Komnas UKM) Sutrisno Iwantono mengatakan, sebanyak 14 asosiasi usaha mikro kecil (UMK), meminta pemerintah dan DPR agar ketentuan tersebut tidak berlaku bagi pelaku UMK.
Asosiasi tersebut terdiri dari, Jusindo, Akumindo, Hipmikindo, Apindo, Asita, UKM Indonesia, Komunitas UMKM Naik Kelas, ASMI, Inkopas, APPI, Puskopkarm, Puskoppas, Jaringan Startup Bandung, dan Komunitas Restoran Jakarta. Menurut Sutrisno, RUU KUP yang sedang dibahas tidak lebih baik dari yang dulu dan malah memberatkan, karena tidak melibatkan lebih jauh kepada pegiat UMK.
“RUU KUP ini juga ternyata bertolak belakang dengan amanat pada UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang seharusnya memberi kemudahan bagi pelaku UMK di tanah air,” kata Sutrisno dalam diskusi virtual, Rabu (22/9).
Sutrisno manyampaikan, terdapat poin-poin penting dan masukan yang sudah di susun oleh 14 asosiasi UMK terhadap RUU KUP.
Pertama, meminta pemerintah agar tetap berpedaoman pada substansi Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018 dengan perubahan tidak diberlakukan batas waktu bagi usaha mikro dan kecil misalnya 3 tahun sampai 7 tahun.
Artinya selama statusnya masih usaha mikro dan kecil makan substansi yang terdapat pada PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan (PPh) dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, untuk tetap berlaku yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
Kedua, meminta bahwa UMK tetap dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari penjualan/omset bruto tahunan atau bahkan untuk usaha mikro sementara ini 0% dengan bercermin dari negara lain. Atau dengan alternatif pilihan dikenai PPh sesuai Pasal 31 e Undang-Undang PPh.
“Kami sangat keberatan apabila Pasal 31 e akan dihapuskan dalam RUU KUP yang saat ini sedang dibahas,” kata Sutrisno
Ketiga, mengusulkan besarnya penjualan omset bruto tahunan dinaikan dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 15 miliar, agar selaras dengan kriteria Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa angka Rp 4,8 miliar sudah berlaku hampir 10 tahun sehingga diperlukan penyesuaian akibat inflasi dan perkembangan ekonomi.
Keempat, usaha mikro dan kecil yang dimaksudkan disini adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu berupa perorangan maupun badan usaha (CV, Firma, Usaha Dagang, Perseroan Terbatas dan sejenisnya).
“Kami tetap meminta bahwa selama mereka berstatus usaha mikro dan kecil mereka tetap mengikuti peraturan yang berlaku, tidak dibatasi oleh waktu seperti saat ini yang hanya diberikan kelonggaran selama antara 3 tahun sampai 7 tahun. Pada kenyataannya pembuatan laporan pajak itu harus terlebih dahulu dilakukan dengan membuat laporan keuangan harian. Usaha mikro dan kecil tidak mampu mebayar gaji bagi tenaga yang memiliki skill dibidang keuangan,” ujar Sutrisno.
Kelima, komnas UMK tidak setuju jika penyidik pajak diberi kewenangan penangkapan, hal ini sangat kontra produktif terhadap upaya untuk mengembangkan kegiatan usaha. Semangat UU Cipta Kerja harus mendorong penciptaan lapangan kerja, bukan malah malah terancam oleh ketentuan pidana sehingga hal ini menjadikan UMK terdemotivasi.
Sebaliknya para pegiat UMK justru memerlukan iklim usaha yang sehat yaitu menciptakan kenyamanan berusaha bukan dengan menciptakan ketakutan.
“Kami juga minta pemerintah terutama Bapak Presiden Jokowi dan DPR agar menampung dan tidak mengabaikan aspirasi UMK. Kami melihat bahwa pemerintah dan DPR tidak peka terhadap keadaan UMK. RUU KUP bagi UMK lebih buruk dari yang sekarang,” imbuhnya.
sumber: kontan.co.id