BISNIS RIAU – Harga emas masih tertekan pada perdagangan Kamis karena kekhawatiran pasar atas kenaikan imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS), dan tingkat suku bunga global.
Mengutip Reuters, Jumat (9/2/2018), harga emas di pasar spot tidak berubah di level US$ 1.318,12 per ounce pada pukul 1.53 waktu New York. Harga ini sudah naik dari level terendahnya sejak 2 Januari lalu di posisi US$ 1.306,81.
Harga emas yang bergerak mendatar ini dipengaruhi imbal hasil obligasi AS menyusul kenaikan inflasi yang mendekati level tertinggi selama empat tahun.
Selain itu, setelah Bank Sentral Inggris mengisyaratkan kenaikan agresif tingkat suku bunga sehingga mendorong bank sentral di seluruh dunia ikut menyesuaikan suku bunga.
“Kenaikan imbal hasil obligasi riil telah menekan (harga) emas,” kata Analis Carsten Menke, Julius Baer.
Penguatan dolar AS juga masih membebani harga emas. Padahal, harga emas pernah mencatatkan reli ke harga tertinggi dalam satu sampai dua tahun ke posisi US$ 1.366,07 per ounce di akhir Desember dan awal Januari ini.
Penguatan kurs dolar AS mendorong mata uang tersebut menjadi mahal bagi pengguna. Suku bunga yang lebih tinggi pun akan mengurangi daya tarik emas, sehingga harganya turun.
Tekanan terhadap harga emas semakin dalam setelah pernyataan The Fed bahwa kenaikan tingkat suku bunga AS tidak bisa dihindari seiring penguatan ekonomi AS.
Sementara itu, harga emas berjangka AS untuk pengiriman April naik 0,3 persen atau US$ 4,40 di posisi US$ 1.319 per ounce.
Harga perak meningkat 0,4 persen di posisi US$ 16,43 per ounce setelah menyentuh level terendah sejak 22 Desember di level US$ 16,22 per ounce. Sedangkan harga platinum merosot 1,9 persen menjadi US$ 976,30 per ounce.
Harga emas alami koreksi hingga sentuh level terendah dalam satu bulan. Tekanan harga emas itu didorong indeks dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil surat berharga AS naik.
Harga emas untuk pengiriman April melemah US$ 14,90 atau 1,1 persen ke posisi US$ 1.1314,10 per ounce. Level harga emas itu sentuh level terendah sejak 9 Januari.
Harga emas gagal untuk berbalik arah lantaran volatilitas di aset berisiko. Sementara itu, harga peras melemah 34,2 sen atau 2,1 persen ke posisi US$ 16.238 per ounce.
“Sulit untuk mengatakan harga emas bergerak baik mengingat pasar saham tetap tidak jelas meski pemulihan terjadi pada perdagangan Selasa,” ujar Konsultan INTL FC Stone, Edward Meir, seperti dikutip dari laman Marketwatch, Kamis (8/2/2018).
“Emas tidak terlalu berkinerja baik saat saham tertekan.Sementara tampaknya mudah merosot usai reli tajam di saham. Ini mungkin menunjukkan kalau emas lebih rentan terhadap sisi negatifnya, terutama jika pasar saham stabil,” tambah dia.
Indeks dolar AS naik 0,8 persen ke posisi 90,31. Imbal hasil surat berharga atau obligasi bertenor 10 tahun naik menjadi 2,83 persen. Investor telah menunjukkan kekhawatiran terhadap ketidakstabilan pasar saham dan kenaikan inflasi.
Kenaikan imbal hasil obligasi 10 tahun terjadi usai laporan pekerjaan pada Januari yang menunjukkan lonjakan pertumbuhan upah. Hal itu memicu kekhawatiran inflasi sehingga mendorong spekulasi kekhawatiran the Federal Reserve akan menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diperkirakan.
Analis menekankan risiko inflasi mendorong imbal hasil obligasi. Ini bisa mempengaruhi harga emas. Pelaku pasar menekankan kalau harga emas dan komoditas lainnya dapat bertahan baik dibandingkan emas.
“Pasar saham menerjang kekhawatiran inflasi dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Namun komoditas dan terutama emas bertahan,” ujar Will Rhind, Chief Executive GranteShares.
Sumber : Liputan6.com